Selasa, 23 Agustus 2016

Pelajaran dari Seorang Anak Bule

24 Agustus 2016

Solo, Bandara Adisumarno

Delay, adalah sebuah hal mengesalkan tapi menjadi terbiasakan bagi penumpang pesawat apapun di Indonesia, terutama salah satu maskapai yang punya motto "Make People Fly", manusia Indonesia yang diberi kesempatan atau sering menggunakan maskapai tersebut sangat paham dengan keterlambatan pesawatnya, jangan tanya berapa kali berita penumpang marah dan ngamuk di media massa. Sering!

Tapi, rupanya ini sedikit menular ke maskapai paling bagus di Indonesia yang yang katanya "Sky Priority", sepertinya ketularan dikit, maklum di Indonesia susah dihindari masalah tular-menular ini, karena vaksinnya aja palsu.#ehh

Gampang kalau sakit, pake BPJS aja, Indonesia gitu loh. "Mas , BPJS-nya palsu juga katanya." #nahh


Tapi sudahlah berkaitan palsu-memalsu di Indonesia tidak akan habis ceritanya, nanti keburu pesawat saya datang.

Delay, bisa menjadi aktivitas menarik. Ketika bertemu wanita cantik atau menemui kejadian unik, misalnya.

Saat ini saya tidak mengalami yang pertama tadi, tapi hal kedua yang saya sebut di atas unik. Itu yang saya alami.

Di sebuah toilet pria di bandara ini, saya bertemu seorang anak Bule, usia 6 tahun, sedang mencuci piring dan sendok. Bagi saya ini unik. Lalu saya bertanya, “Do you speak Indonesian language?”

"Sedikit," jawabnya.

Lalu saya lanjutkan, "Apakah kamu disuruh ayah/ibumu?"

"No! Ini sudah tanggung jawab saya, ini alat makan saya dan saya yang harus bersihkan."

Saya kagum. "Kamu terlihat bersiul, apakah kamu senang mengerjakannya?"

"Tentu saya senang karena saya bisa mengerjakan tugas saya; mencuci alat makan ini ".

Semakin terpesona, "Kenapa kamu bisa melakukan ini?"

"Coz my dad was always washed by his self after eat."

AYAH! Yup anak ini dicontohkan oleh ayahnya, bukan ibunya. Mungkin ibunya juga sih.

Tapi saya menjadi terkesiap dan nyata, betapa peranan ayah dalam pengasuhan anak itu luar biasa, saat ini sesaat sebelum di bandara ini, saya berbagi seminar mengisi tentang parenting.

Betapa banyak sekali dibahas di Indonesia, ukuran prestasi anak adalah nilai, ranking, dan bla bla bla. Di luar sana, Jepang, Amerika, dan lain-lain, sopan santun, etika, dan kecerdasan emosi lebih diutamakan, budaya antri, tanggung jawab, hormat sama ortu, dan lain sebagainya.

Menurut beberapa kawan yang di Australia, Jepang, dll, itu benar adanya. Di sekolah luar sana, anak-anak lebih dididik karakter dan etika.

Nah, di depan mata saya saat ini terbukti anak Bule Belanda ini jelas mempertontonkan sikap luar biasa dari seorang anak, mengerjakan tanggung jawabnya dengan senang dan tanpa paksaan.

Lalu, peran ayah dalam hal mendidiknya, saya tidak perlu sebutkan betapa di al Quran dialog anak-orang tua adalah bukan dialog ibu dan anak, melainkan ayah dan anak. Nuh dan anaknya, Lukman Hakim dan anaknya, Ibrahim dan ayahnya, dll.

Jadi, sepertinya menjadi "ayah sebenarnya ayah" itu proses luar biasa. Mari kita menjadi ayah. Bukan hanya bapak dari seorang anak.

Dan, selesai nulis buru-buru inipun, pesawatnya belum juga tiba.

Demikian,

Solo,240816

-Gyn-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar